Judul Buku :
Wiji Thukul Teka Teki Orang Hilang
Penulis : Seri
Buku Tempo
Penerbit : KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia)
ISBN :
978-979-91-0921-7
Tahun : 2013
Jumlah Halaman :
160 halaman
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Di atas adalah puisi karya Wiji Thukul yang
entah kapan pertama kalinya saya baca. Yang kuingat saat pertama saya baca adalah: saya jatuh cinta. Saat membacanya, tanpa sadar jiwa saya ikut berguncang. Seolah-olah Wiji Thukul sedang meneriakkan puisi itu lantang di hadapan saya. Tidak heran, puisi ini pula yang membuat Wiji Thukul
ditakuti, dicari-cari, dan dituduh subversif pada masa orde baru.
Wiji Thukul adalah seorang pria biasa dengan
perawakan kurus, berpakaian lusuh dan cara bicaranya yang "pelo". Namun ia juga tokoh sejarah penting pada masa orba. Ia adalah saksi
sekaligus korban dari betapa kejamnya orde baru. Ia adalah pejuang, ia
memperjuangkan haknya juga para buruh dan rakyat-rakyat kecil. Melalui
puisi-puisinya, pamflet-pamflet, poster-poster, Wiji Thukul menyerukan
kritikan terhadap pemerintahan. Ia menentang ketidakadilan. Maka dari itu ia
dibungkam. Ia dihilangkan.
Wiji Thukul adalah seorang seniman
yang digandrungi pada masa itu. Ia kerap berdiri di tengah masyarakat
kecil, memegang kertas lusuhnya, kemudian membacakan puisi buatannya dengan lantang
yang membangkitkan semangat para rakyat. Namun hal itu membuat pemerintahan tak
suka dengannya. Maka dari itu ia diburu.
Buku Teka Teki Orang Hilang yang diterbitkan
oleh Majalah Tempo menggambarkan bagaimana keadaan Wiji Thukul yang dituduh
sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 saat itu. Betapa resahnya ia sekedar
keluar rumah, karena takut tertangkap aparat. Ia kerap berpindah-pindah tempat
untuk tinggal yang dibantu oleh teman-teman aktivisnya, dan pernah menyamar
menjadi seorang tukang bakso dan seorang rohaniwan. Wiji Thukul adalah seorang
buronan yang dicari-cari. Ia tak pernah merasakan ketenangan lagi saat
itu. Bahkan teman-teman aktivisnya pernah ditangkap oleh aparat, dan mereka ditanyai keberadaan Thukul. Kalau mereka tak mau menjawab atau tidak mengetahui dimana
keberadaan Thukul, maka mereka disiksa, dipukuli, dan ada beberapa yang tewas
dan turut menghilang.
Sampai pada puncak kekisruhan yang terjadi
pada Mei 1998, Wiji Thukul menghilang. Menghilang sampai saat ini. Meninggalkan
istri tercintanya Sipon dan kedua anaknya yang masih kecil, Wani dan
Fajar. Tidak ada yang mengetahui keberadaannya, tidak ada yang tau ia masih
hidup atau sudah meninggal sampai saat ini. Buku ini adalah pengingat.
Pengingat akan masa kelam yang menyebabkan menghilangnya Wiji Thukul dan
aktivis-aktivis lainnya. Pengingat akan sisi gelap orde baru menghilangkan dan
membunuh para aktivis yang dianggap meresahkan pemerintahan Soeharto.
Namun rakyat menolak lupa. Kami akan
terus mengingat Wiji Thukul dan aktivis-aktivis lain yang hilang. Suara-suara
mereka akan terus mengiang di telinga kami, semangat mereka tak akan pernah
pudar. Dan wajah-wajah mereka akan terus kami ingat. Karena mereka adalah
tokoh-tokoh penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut diabaikan.
Berikut adalah Sajak Suara karya Wiji Thukul
yang juga saya sukai, dan juga menimbulkan kecaman namun juga membangkitkan semangat rakyat.
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Begitulah hingga saat ini, Indonesia
menjalani kehidupan seperti biasa. Keadaan membaik (atau seolah-olah membaik). Sipon menjalani hidup
seperti biasa, namun tanpa ditemani oleh suami tercinta, Wiji Thukul. Wani,
anak pertamanya sudah berkeluarga dan ia pernah menulis puisi yang ditujukan
untuk bapaknya. Menceritakan bagaimana kerinduannya dan bagaimana keadaan
keluarga setelah ditinggalkan oleh Thukul. Fajar, si anak bungsu telah tumbuh
menjadi laki-laki dewasa yang menjadi seorang musisi.
Buku ini menurut saya patut dibaca. Karena
seperti yang saya beritahu sebelumnya, bahwa buku ini adalah pengingat akan
masa kelam orde baru. Buku ini menceritakan Wiji Thukul yang terpaksa menjadi
buron dan berpindah tempat demi melindungi dirinya. Akhir kata, saya berharap
pembaca sekalian tak melupakan sejarah. Karena dengan sejarah kita dapat
belajar dan mengambil hikmahnya. Mohon maaf bila masih banyak kesalahan dalam
resensi buku ini. Terima kasih.
Komentar